Pakaian
awalnya dirancang sebagai cara melindungi diri dari dingin dan unsur-unsur.
Sejak bahwa pakaian periode waktu telah berkembang tidak hanya menjadi
perpanjangan dari kepribadian kita, tetapi sebagai simbol status mana yang
lebih baik dari individu mana mengenakan kain halus dan perhiasan daripada
miskin. Hari ini, sementara pakaian yang masih digunakan sebagai simbol status,
lebih mudah untuk menciptakan penampilan yang statusnya lebih tinggi dengan
menggunakan pakaian yang Anda kenakan untuk menonjolkan tubuh Anda dengan cara
yang mencerminkan orang-orang yang statusnya lebih tinggi.
Cara berpakaian, berdandan, dan penampilan
fisik seringkali menjadi dasar bagi kesan pertama, yang relatif bertahan lama,
bahkan kaca mata dapat mempengaruhi persepsi orang lain terhadap pemakain.
Baju
seragam memberi informasi tentang tingkat dan status orang kepada kita; banyak
orang percaya bahwa pakaian dan cara berpakaian juga menunjukkan hal yang sama.
Dalam beberapa penelitian, orang-orang yang menerima bantuan yang lebih besar
atau permohonannya lebih mudah dikabulkan (misalnya, untuk mendatangi petisi)
bila mereka berpakaian resmi atau rapih daripada bila mereka berpakaian biasa
atau serampangan. Satu penelitian tentang janggut menemukan bahwa menurut
wanita, pria berjanggut lebih menarik, “memiliki status lebih baik” dalam
pandangan pria lainnya, dan janggutnya ini menciptakan jarak sosial yang lebih
besar antara ia dengan pria lainnya yang tidak berjanggut.
Kadang-kadang
kita berpakaian agar mengesankan bagi orang lain, agar lebih menyerupai mereka,
atau—bila kita mengenakan pakaian yang berlawanan dengan norma yang dianut
sekelompok orang –untuk mengekspresikan penolakan kita atas nilai-nilai mereka.
Penelitian
tentang hubungan antara pakaian dan kepribadian membuktikan bahwa bila anda
amat memperhatikan cara anda berpakaian, anda cenderung mengalah dan gelisah;
bila anda relatif kurang memperhatikan pakaian anda, mungkin anda seorang
pribadi yang agresif dan mandiri (Rosenfeld dan Plax, 1977). (Hasil penelitian
ini berlaku untuk pria dan wanita) Melalui baju yang kita pakai, kita sering
mengkomunikasikan kepatuhan atau ketidakpatuhan kita atas nilai-nilai
tradisional. Pada umumnya, orang-orang akan menerima cara berpakaian yang amat
tidak biasa bila pemakainya adalah orang kaya atau orang terkenal. Sebenarnya,
orang-orang sering mengharapkan para
seniman dan penghibur mengenakan pakaian yang tidak biasa. Misalnya, kita tidak
mengharapkan melihat rsambut Tina Turner ditata seperti duri landak, roknya
pendek, dan sepatunya bertumit super tinggi.
Pakaian
yang parlente, yang mahal, bagsaimanapun juga kadang-kadang menunjukkan suatu
jurang komunikasi. Misalnya, kita tidak mengharapkan seorang politikus tampil
mengenakan pakaian sangat resmi ketika ia berpidato di hadapan para warga
disekitarnya.
Kajian tentang
bagaimana kita memilih dan memanfaatkan objek fisik dalam komunikasi nonverbal
disebut objektika (objectics). Objektika menyangkut semua objek fisik,
mulai dari baju yang kita kenakan sampai makanan yang kita sajikan.
Kita
tentu ingat dengan Founding Father banga Soekarno, sejak memulai
aktivitas pergerakan hingga menjadi presiden, sangat memperhatikan penampilan,
terutama soal berpakaian. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dikalangan pergerakan
saat itu, Soekarno merupakan salah satu yang mempunyai ciri khas dalam
berpakaian, dan kelak diikuti oleh kalangan pergerakan lainnya.
Bagi sebagian kita berbusana mungkin lebih
ditujukan kepada memenuhi etika kesopana. Tolok ukur kita adalah sopankah
busana yang saya pakai ? Namun hal ini tidak berlaku bagi Putera Sang Fajar.
Dimata Bung Karno busana bukan hanya tuntutan sebuah kesopanan tetapi lebih
jauh dari itu dalam busana dan cara menggunakannya banyak mengandung nilai
seni.
Dalam berbusana Bung Karno sangat teliti, baik
warna, model sampai pada bahan yang akan digunakan. Dan dalam kerapian serta
keserasian berbusana perhatian Bung Karno bukan hanya pada busana yang ia
gunakan, tetapi juga orang-orang disekelilingnya.
Saat itu, Bung Karno menyusun sendiri bentuk
seragamnya selaku presiden, sebuah perpaduan antara seragam militer dan pejuang
sipil (rakyat). Jas ditampilkan dengan kantung tempel yang empat buah, sedang
tanda kepresidenan (bintang bersudut lima dalam lingkaran) disemakkan di kedua
kelepak. Tidak ketinggalan pula, kopiah hitam yang sedikit miring ke kiri.
FUNGSI PESAN NONVERBAL
Mark L. Knapp dalam W. Syam (2011:134) telah
menyebut 5 (lima) fungsi pesan nonverbal, yaitu:
1. Repetisi, mengulang kembali gagasan yang
sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan alasan
penolakan saya, saya menggelengkan kepala berkali-kali
2. Substitusi, menggantikan lambang-lambang
verbal. Misalnya, tanpa sepatah kata pun anda berbicara, anda dapat menunjukkan
persetujuan dengan menganggukkan kepala
3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau
memberikan makna lain terhadap pesan verbal. Misalnya, anda memuji prestasi
kawan anda dengan mencibirkan bibir anda “Hebat, kau memang hebat”
4. Komplemen, melengkapi dan memperkaya makna
pesan nonverbal. Misalnya, air muka anda menunjukkan tingkat penderitaan yang
tidak terungkap dengan kata-kata
5. Aksentuasi, menegaskan pesan verbal atau
menggarisbawahinya. Misalnya, anda mengungkapkan betapa jengkelnya anda dengan
memukul mimbar.
Knapp membahas fungsi pesan nonverbal dalam
hubungannya dengan pesan verbal. Adapun yang penting kita ketahui adalah
tinjauan psikologis terhadap peranan pesan nonverbal dalam perilaku komunikasi.
Sejauh mana pesan nonverbal melancarkan atau menghambat efektivitas komunikasi?
Dale G. Leathers masih dalam W. Syams (2011:134),
menyebutkan enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting, yakni:
1. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan
makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi
tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran lewat pesan-pesan
nonverbal.
2. Perasaan dan emosi lebih cermat
disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Menurut Mehrabian
(1967), hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomuniksikan dengan kata-kata.
Sebaliknya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan lewat
ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya).
3. Pesan nonverbal menympaikan makna dan
maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Kita semua
lebih jujur berkomunikasi melalui pesan nonverbal ketimbang pesan verbal. Dalam
situasi komunikasi yang disebut double binding ketika pesan nonverbal
bertentangan dengan pesan verbal orang bersandar pada pesan nonverbal.
4. Pesan nonverbal memiliki fungsi
metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang
berkualitas tinggi. Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi
tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. Telah kita ketahui bahwa
pesan nonverbal memiliki fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi, komplemen,
dan aksentuasi. Semua ini menambah kadar informasi dalam penyampaian pesan.
5. Pesan nonverbal merupakan cara komunikasi
yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu, pesan
verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan verbal selalu terdapat redudansi
(lebih banyak lambang yang diperlukan), repetisi ambiguity (kata-kata
yang berarti ganda), dan abstraksi. Diperlukan lebih banyak waktu untuk
mengungkapkan pikiran kita secara verbal daripada secara nonverbal.
Pesan Artifaktual
Pesan artifsaktual adalah pesan nonverval
yang diungkapakan melalui penampilan (performance) tubuh, pakaian dan
kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering berperilaku dalam
hubungan dengan orang lain sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body
image). Erat kaitannya dengan tubuh ialah upaya kita untuk membentuk citra
tubuh dengan pakaian dan kosmetik.
Kefgen
dan Touchie dalam Rakhmat (2005:292) menyatakan, “Pakaaian menyampaikan pesan.
Pakaian terlihat sebelum suara terdengar. Pakaian tertentu berhubungan dengan
perilaku tertentu.” Umumnya pakaian kita pergunakan untuk menyampaikan
identitas kita, untuk mengungkapkan kepada orang lain siapa kita. Menyampaikan
identitas berarti menunjukkan kepada orang lain bagaimana perilaku kita dan
bagaimana orang lain sepatutnya memperlakukan kita. Selain itu pakaian dipakai
untuk menyampaikan perasaan (seperti blus hitam ketika wanita berduka cita,
atau pakaian yang semarak ketika kitsa ceria), status dan peranan (seperti
seragam kantor), dan formalitas (seperti memakai sandal untuk menunjukkan
situasi informal dan memakai batik untuk situasi formal).
Banyak
pesan nonverbal dikomunikasikan melaui cara berpakaian dan artifak-artifak
lain. Perhiasan, tata-rias wajah, kancing, alat tulis yang digunakan, mobil
yang dikendarai, rumah yang diami, perabot rumah yang dimiliki serta cara
penataannya, besar dan lokasi kantor, dan, nyatanya, hampir setiap benda yang
berkaitan dengan manusia juga mengkomunikasikan makna. Arloji Rolex dan Timex
keduanya mungkin memberikan informasi tentang waktu yang sama dan benar, tetapi
keduanya mengkomunikasikan hal yang berbeda tentang pemakainya
Pakaian merupakan
bagian kesatuan yang tidak terlepas dalam kehidupan sosial. Pada dimensi
personal, pakaian menjadi media untuk mengeksitensikan ekspresi dan gagasan
yang terkadang muncul dalam bentuk yang serba abstrak. Melalui dimensi
sosial kultural, pakaian dijadikan sebagai media komunikasi, promosi, bahkan
pembentukan ideologi. Berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan sosial,
dapat direfleksikan melalui produk-produk pakaian, sehingga formulasi
komunikasi antara pengguna, penikmat, dan pencipta pakaian terbentuk secara
sistematis. Produk pakaian sebagai perwujudan visual produk kebudayaan,
seringkali dijadikan penanda dan identitas sosial pada komunitas sosial.
Simbol-simbol diskriminasi, pemujaan, penokohan, dan penghujatan muncul
seiring dengan berputarnya produk pakaian. Diskursus pada pakaian,
bukanlah perkara sederhana dalam konteks sosial kultural; agama, moral,
etika, dan seni. Tulisan ini, dalam keterbatasannya, dengan sudut pandang
semiotika, komunikasi, estetika, dan agama, menguraikan dimensi sosial
kultural pada gaya berpakaian.
Pakaian pada wilayah pembentukan
ideologi personal atau komunitas, merupakan dimensi bergaya. Tatanan dan
tuntunan bergaya inilah yang sering ditafsirkan sebagai usaha mengekspresikan
keinginan dan pengakuan identitas pada konteks kehidupan sosial. Ekpresi yang
tidak terkendali dalam bergaya (membuat dan memakai gaya tertentu), mendorong
pada beberapa personal untuk memberikan batasan-batasan pakaian yang “nyaman”
atau tidak, “layak” atau tidak, untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai,
minimal komunitas sosialnya. Batasan gaya berpakaian inilah, yang sering
kali dilihat sebagai “ketidakwajaran” untuk diterima dan ditempatkan pada
kultur tertentu. Pertentangan dan pertautan yang dihubungkan dengan nilai
agama, moral, dan etika dalam menyikapi produk seni (pakaian) muncul secara
beragam. Pada sisi lain, terjadinya distorsi makna pakaian sebagai kebutuhan
pokok, menjadi pakaian sebagai kebutuhan mewah untuk bergaya. Tentu, tidak
dengan segera pakaian dipermasalahkan sebagai sumber kerumitan tersebut, ada
peran media (iklan), industri (pencipta), komunitas (pemakai dan pencipta),
serta lembaga sosial (pemerintah dan alat-alatnya) yang membentuk perputaran
pakaian menjadi produk yang “mengatur” penggunanya.
Pada dimensi lain, konteks “nyaman”
memiliki batasan berbeda bagi setiap personal. Konteks kenyamanan inilah yang
membuat terjadinya perdebatan dan silang pendapat, jika dilihat dari sudut
pandang keilmuan yang berbeda. Landasan berpikir berbeda yang menentukan
norma dan kaidah berpakaian menjadi tidak sama, berlaku pada personal, komunitas,
mau pun pihak industri. Gaya berpakaian merupakan milik “personal” yang
saling berkorelasi pada lingkungan politik, sosial, dan kultural. Beragam
ideologi terbungkus oleh tema atau isu, melekat pada sehelai pakaian,
bertujuan personal, komunitas, dan industri. Konteks nyaman memberikan label
dan identitas seseorang pada tatanan sosial, sehingga pengidentifikasian
dipandang sebagai upaya “melegalkan” kesenangan bergaya. Atas dasar
kesenangan ini juga, memunculkan persoalan berkaitan simbol pembebasan diri
dalam bergaya melalui pakaian (produk seni).
Pakaian yang Beragama atau Bergaya
Terjadinya revolusi Iran, merupakan
titik penting terjadinya perubahan gaya berbusana agamis. Pada era sebelum
revolusi Iran atau yang dikenal sebagai revolusi Islam, (1) pakaian agamis dan
tren jilbab, belum terlalu diakui sebagai bagian media yang digunakan untuk
bergaya. Revolusi yang ditandai berakhirnya rezim penguasa Mohammad Reza
Pahlavi, serta menjadi revolusi terbesar ketiga dalam sejarah dunia, memiliki
arti penting pada sejarah berpakaian agamis. Kemenangan ini, selain dirayakan
dengan gaya pakaian, juga melalui musik dan film, yang secara perlahan
bertemakan Islam.
Peristiwa kemenangan ini juga dirayakan
di Indonesia, dimulai pada saat revolusi Iran di tahun 1979, dan tahun-tahun
selanjutnya, bergaya muslim dalam kehidupan sosial menjadi semacam tren.
Pengakuan identitas keagamaan, yang divisualkan melalui busana, lagu, dan
film, menjadi marak. Pentas busana, baik dalam kemasan pagelaran, mau pun
merefleksi dalam kehidupan sosial sehari-hari, menjadi lahan industri yang
berpotensi secara ekonomis dan menjadi lahan pembauran nilai-nilai kultural.
Pakaian pada ranah kultural dan agama, memiliki spesifikasi dimensi
sendiri-sendiri. Manusia sebagai bagian dari sistem kebudayaan, dan sebagai
penunjuk penting kedinamisannya, menjadikan pakaian dalam bentuk yang
berbaur dengan agama. Antara minat pada budaya berbusana (tren busana) dan
menjalankan aturan atau hukum berbusana, hampir tidak ada perbedaan.
Berjilbab merupakan pilihan personal,
yang dilandasi beragam alasan, diantaranya adalah faktor keinginan diri
sendiri, tuntunan Alqur’an, alasan kenyamanan, dan membedakan dengan
perempuan lainnya. (2) Sebagai pilihan kultural, berjilbab muncul dalam
kancah persilangan dari beberapa faktor yang disinggung sebelumnya. Usaha
untuk membedakan dengan perempuan lain, merupakan wacana yang menunjukkan
identitas pada konteks waktu dan tempat tertentu. Ini adalah bergaya.
Turut serta dalam tren jilbab merupakan
bagian penting dalam pembudayaan jilbab pada kehidupan sosio-kultural. Jilbab
dalam kancah kultur Islam mengalami distorsi pemaknaan, akibatnya terjadi
“seragamisasi” penggunaan jilbab, modifikasi jilbab, dan menciptakan beragam
timbal balik komunikasi di dalamnya.
Jilbab tidak dapat dijadikan sebagai
penanda ketaatan atau ketaqwaan seseorang; bukan soal jilbab besar atau
jilbab kecil, bahkan pada seseorang berjilbab atau pun tidak. Ideologi jilbab
secara langsung bukan hanya untuk menunjukkan tentang ketaqwaan, ada
konstruksi (makna lain) yang terbangun didalamnya, sebagai tren, kebudayaan,
identitas, alat berkomunikasi, dan ada peran budaya media massa. Dalam
rumusan Madan Sarup, wacana posmodern bercirikan sesuatu yang bernilai
kekinian, dapat berwujud suatu bentuk baru dari ketekstualan; gejala gangguan
kejiwaan yang ditampilkan masyarakat, dan tidak bersifat alamiah, melainkan
dibuat oleh kapitalisme global. (3) Jilbab yang dipandang sebagai produk masa
kini, merupakan produk nyata wilayah posmodern, bernilai kekinian, bentuk baru
dalam pencitraan, dan ada pengkondisian “kecintaan” terhadap jilbab
(penciptaan tren/tidak alamiah). Nilai kekinian dan bentuk baru yang
dibicarakan posmodernisme merupakan bagian penting dalam memilah sifat
alamiah seseorang untuk berjilbab (sesuai tuntunan), atau tercipta atas
kepentingan (tren dan industri).
Munculnya klasifikasi pada jilbab,
merupakan bukti nyata peran industri terhadapnya. Istilah jilbab besar,
jilbab kecil, atau pun jilbab gaul, adalah ranah persoalan dimana nyaman dan
tidak menggunakan jilbab. Jilbab sebagai salah satu produk kebudayaan,
menjadi bukti nyata terjadinya kontroversi terhadap kebijakan dan kewajiban
menggunakannya dalam konteks hukum pada masyarakat sosial dan pendidikan.
Seragamisasi jilbab pada kontek waktu dan tempat tertentu, perlu mendapatkan
perhatian dan pembahasan secara mendalam, karena jilbab adalah “milik”
kelompok muslim, jilbab merupakan “milik” orang-orang yang secara hati nurani
dan sadar menggunakan sesuai tuntunan; tidak dapat digeneralisasikan dalah hal
apa pun. Jika terjadi pertentangan atas memaksakan “milik” dan cara mengaplikasikannya,
sudah terjadi apa yang diistilahkan oleh Sarup, sebagai sesuatu yang
dibuat-buat. Ini masuk pada konteks “bergaya” tersebut.
Pakaian dalam Persoalan Moral dan
Etika
Pakaian yang bermoral tidak selalu
berkarakter tertutup, bersifat longgar, dan serba panjang. Ketat atau pun
longgar bukan ukuran untuk menentukan sifat erotisme pada sehelai pakaian,
ada karakter tertentu yang dijadikan sebagai sumber permasalahan. Konstruksi
sosial terhadap pemahaman pornografi adalah sifat pakaian yang serba
terbuka, tidak menutup aurat. (4) Persoalan pakaian dan aurat seharusnya
tidak dijadikan sebagai sumber utama terjadinya pelecehan seksual dan
pemerkosaan terhadap kaum perempuan. Hal syahwat tidak selalu terhubung
dengan pakaian minim, ketat, atau pun bersifat terbuka. Kenyamanan seseoarang
untuk menggunakan jenis pakaian tertentu, tidak dapat dikatakan sebagai
sumber permasalahan. Akan tetapi, lebih pada kebobrokan moral dan etika
orang yang melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan. Ada nilai-nilai
akidah, moral, etika, dan kemampuan mengendalikan diri pada setiap manusia,
yang seharusnya menjadi pengontrol terhadap nafsunya. Perbedaan budaya
berpakaian, sekaligus batasan “nyaman” dalam konteks beberapa agama di
Indonesia, bukanlah indikator yang menentukan terjadinya pemerkosaan. Dengan
kata lain, tidak ada kewajaran dan kelumrahan terhadap gaya berpakaian ketat
dan minim, yang menjadi faktor utama atas pelecehan seksual.
Undang-undang tentang Pornografi
merupakan alat dan perwujudan hukum yang diciptakan oleh pemerintah dalam
mengatur seseorang untuk berpakaian dan bertindak. Undang-undang ini mengisyaratkan
perihal batasan-batasan masyarakat untuk berpakaian secara layak atau tidak,
terbuka atau tertutup, bahkan pakaian yang sopan atau tidak.
Undang-undang pornografi, dimaksudkan
untuk meminimalkan gaya pakaian yang berbau erotis, minimalis, dan
berkarakter terbuka. Ada persoalan nilai moral dan etika yang hendak disampaikan
dalam undang-undang ini. Moral dan etika merupakan sebuah ideologi yang
terkandung, dalam upaya mengatur “ketertiban” masyarakat sosial dalam
berpakaian, sehingga selain sebagai benda pakai, ia menjadi sebuah sistem
peredam segala fitnah karena penggunaan bahan pakaian yang tipis. (5)
Terlepas dari segala kekurangan dan kontroversi berlakunya undang-undang
pornografi, (6) tidak dimaksudkan untuk membuat dikotomi dan diskriminasi
terhadap pakaian adat istiadat suatu daerah, atau pun cara berpakaian pada
agama tertentu, tetapi lebih menyikapi nilai-nilai hakiki yang melekat pada
pakaian.
Pakaian dan Ekspresi Seni
Pakaian sering dianggap sebagai sebuah
topeng untuk memanipulasi tubuh, sebagai cara untuk membangun dan menciptakan
citra diri. (7) Pakaian berfungsi tidak saja membalut tubuh untuk kehangatan,
kesederhanaan atau kenyamanan. Kode pakaian adalah perangkat teknis yang
mengartikulasikan hubungan antara tubuh tertentu dan lingkungan hidup, ruang
yang ditempati oleh badan dan didasari oleh tindakan tubuh. Dengan kata lain,
pakaian membangun habitus pribadi, (8) sebagai sebuah perangkat penting untuk
berkomunikasi dengan lingkungannya; pakaian dibentuk dan disesuaikan dengan
kondisi tertentu. Peran penting seseorang pencipta atau desainer pakaian,
mempengaruhi identitas pakaian, sekaligus citra tubuh penggunanya.
Kondisi ekonomi dan pasar tidak selalu
jadi referensi utama dalam seorang desainer menciptakan pakaian, tetapi
memiliki posisi yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Munculnya istilah
tren, adalah menunjuk seberapa minat konsumen terhadap mode pakaian tertentu,
dalam konteks ekonomi, ini menjelaskan seberapa laku mode tersebut dipasaran.
Tren ini juga yang memilah pakaian berdasarkan pada bahan, warna, dan harga,
bahkan lebih luas menunjuk ideologi, negara, dan siapa yang mencipta pakaian.
Pada sehelai pakaian terdapat ekspresi,
keinginan, pesan, atau pun nasihat yang hendak dikomunikasikan oleh desainer.
Nilai ekspresi tidak terbatas pada ide dan cara mengkomunikasikan, termasuk
pada media yang digunakan. Ekspresi, persoalan ini masuk pada ranah personal
dan mutlak milik seseorang yang mencipta suatu produk seni, termasuk pakaian.
Kreativitas berkesenian merupakan wilayah yang tidak dapat diintervensi oleh
siapapun, kecuali mencipta suatu pakaian karena menjawab kebutuhan tren.
Kebebasan dalam mencipta inilah terkadang dianggap kelompok tertentu,
sebagai ekspresi seni yang tidak bermoral, tidak sesuai dengan adat bangsa,
atau sering tidak sepaham dengan kondisi nilai filosofi dan kultur suatu
ruang. Untuk kepentingan bergaya, karya seni (pakaian) dimungkinkan saling
beradaptasi pada kondisi sosial kultural pada wilayah tertentu, sehingga
benturan dan silang pendapat, sebagai akibat perbedaan latar belakang kebudayaan
dan cara memaknai, dapat diminimalkan. Karena sehelai pakaian bersifat
sebagai suatu benda yang dipakai, sebagai sebuah konsep produksi seni yang
mudah dipahami, lebih cepat menerima reaksi dari kehidupan sosial.
|
Pakaian dalam
perspektif Islam
Pada saat orang yang beriman memutuskan pakaian
mana yang hendak dikenakannya sepanjang hari dan mengenakannya, dia menyadari
sebuah kenyataan penting: bahwa pakaian adalah salah satu dari nikmat Allah
yang tidak terhitung banyaknya dan ada kebaikan dalam adanya pakaian. Semua
orang mengambil manfaat dari nikmat ini, tetapi hanya seorang muslim yang hidup
sesuai dengan ajaran Al Qur’an yang mampu menghargai dengan baik bahwa pakaian
yang indah adalah kasih sayang dari Allah dan bersyukur kepada-Nya atas berkah
tersebut. Pakaian segera mengingatkan orang beriman bahwa makhluk hidup adalah
sumber pakaian wol, kapas, dan sutra. Bahan pakaian yang kita pakai, hampir di
setiap saat dalam hidup kita, diperoleh dari tumbuhan dan hewan yang merupakan
ciptaan yang menakjubkan. Dengan kata lain, seandainya Allah tidak menciptakan
makhluk hidup yang memiliki kemampuan menyediakan untuk manusia berbagai macam
pakaian dari yang paling sederhana sampai yang paling mewah, maka bahan mentah
tersebut tidak akan ada.
Meskipun mereka
sebenarnya mengetahui ini, sebagian orang tidak peduli atau, karena
kesesatannya, tidak menghargai nikmat yang mereka miliki. Karena mereka diberi
pakaian yang mereka butuhkan sejak mereka lahir, berpakaian telah menjadi
kebiasaan bagi mereka. Kebiasaan ini melalaikan mereka dari menyadari bahwa
pakaian mereka merupakan nikmat. Mereka juga lalai untuk mensyukurinya.
Padahal, salah satu alasan mengapa Allah menurunkan nikmat di dunia adalah agar
manusia berterima kasih kepada-Nya atas semua nikmat tersebut. Oleh karena itu,
marilah kita mempelajari alasan mengapa Allah menciptakan pakaian untuk kita.
Mari kita mulai dari manfaat pakaian tersebut untuk kita.
Pakaian seolah sebuah
tameng yang melindungi tubuh manusia dari dingin, sinar matahari yang berbahaya,
dan bahaya ringan di sekitar kita seperti lecet dan cedera. Kalau kita tidak
memiliki pakaian, kulit tipis yang menutupi tubuh manusia akan sering terluka
oleh berbagai bahaya ringan tersebut. Tentu itu menyakitkan, mengancam
kesehatan, dan kulit dapat mengalami kerusakan yang parah.
Allah berfirman dalam Al Qur’an tentang
alasan lain penciptan pakaian pelindung:
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. (QS. Al A’raf, 7: 26)
Sebagaimana yang disampaikan ayat ini,
pakaian memberi manusia penampilan yang lebih indah.
Jelaslah bahwa pakaian
merupakan kebutuhan yang tak bisa dielakkan dan nikmat sangat penting yang
telah Allah berikan kepada kita. Orang beriman yang menyadari ini akan sangat
berhati-hati dan tidak sembarangan dalam mengenakan pakaian. Ini menunjukkan
bahwa dia sangat bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah
dikaruniakan-Nya.
Sifat lain yang dikaruniakan kepada orang beriman
berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan oleh Al Qur’an adalah kesederhanaan
dalam membelanjakan uang yang juga diterapkan pada saat membeli pakaian. Dia
membeli barang yang dia butuhkan, cocok dengannya, dan tidak berlebihan. Dia
tidak menghamburkan uang dengan membelanjakan uang untuk barang yang tidak
diperlukannya. Ayat berikut menunjukkan kenyataan tersebut:
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah yang demikian. (QS Al Furqan, 25:67)
Kehatian-hatian dalam berpakaian bagi
seseorang yang menjalani hidup sesuai Al Qur’an tidak hanya berhenti sampai di
sini. Sebagai contoh, selain berpakaian dengan pakaian yang bersih, orang
beriman yang menghargai keindahan akan berhati-hati dalam berpakaian dengan
baik dan juga disesuaikan dengan situasi yang ada. Sebagaimana ditunjukkan oleh
Al Qur’an, pakaian itu menyenangkan untuk dipandang mata (Surat al-A'raf: 26).
Ada beberapa contoh mengenai bagaimana Nabi Muhammad, SAW berpakaian dan anjurannya
mengenai hal ini dalam sabdanya kepada kita:
“Makanlah apa yang kamu suka, dan pakailah
apa yang kamu suka dengan memperhatikan bahwa tidak terdapat dua hal:
berlebih-lebihan dan kemewahan yang sia-sia.” (Maulana Muhammad Mansyur
Nu'mani, Ma'ariful Hadith)
Berikut ini juga merupakan keterangan yang
diberikan kepada kita mengenai bagaimana Nabi Muhammad, SAW berpakaian:
Setiap saat seorang utusan datang kepada
Rasulullah. dia akan mengenakan pakaian terbaiknya dan memerintahkan
sahabat-sahabat dekatnya untuk melakukan hal yang sama (Tabaqat Hadith, Volume
4, Nomor 346)
Ketika seorang sahabatnya tidak
mempedulikan penampilannya dan terlihat tidak rapi, Nabi Muhammad, SAW. segera
menegurnya. Contoh ini telah disampaikan kepada kita:
Rasulullah sedang berada di mesjid, di
saat seseorang dengan rambut tidak disisir rapi dan janggut kusut datang. Nabi
(SAW) menunjukkan jari kepadanya, seperti mengisyaratkan padanya bahwa dia
harus merapikan rambut dan janggutnya. Orang tersebut pergi dan melakukan apa yang
diisyaratkan, kemudian kembali. Nabi (SAW) berkata, “Tidakkah lebih baik jika
setiap orang dari kalian datang dengan rambut terurus?" (Malik's Muwatta,
Volume 2, Nomor 949)
Dalam Al Qur’an, Allah berfirman bahwa
pakaian dan perhiasan merupakan bagian dari nikmat terbaik di Surga. Beberapa
di antaranya disebutkan dalam ayat-ayat berikut:
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan
gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. (QS Al
Hajj, 22:23)
… mereka memakai sutera yang halus dan
sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan. (QS Ad Dukhan, 44:53)
Mereka memakai pakaian sutera halus yang hijau
dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang yang terbuat dari perak …
(QS Al Insan, 76:21)
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah berfirman
mengenai sutra halus dan sutra tebal, dan perhiasan yang terbuat dari emas,
perak dan mutiara. Perhiasan yang kita miliki di dunia ini sama dengan yang ada
di Surga. Bagi orang yang beriman, memandang perhiasan ini (mereka memilikinya
atau tidak) merupakan sarana yang menuntunnya untuk merenungkan Surga dan
keinginan yang lebih besar untuk mencapainya. Orang beriman merenungkan tujuan
penciptaan semua itu dan menyadari bahwa segala nikmat di dunia ini tidaklah
kekal. Satu-satunya nikmat sejati dan yang kekal terdapat di akhirat.
Sesungguhnya mereka yang beriman dan
beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengerjakan amalan(nya) dengan baik. Mereka itulah (orang-orang yang) bagi
mereka surga 'Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka
dihiasi dengan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus
dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang
indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah. (QS
Al Kahfi, 18:30-31)
Salah satu hal yang perlu diperhatikan
oleh seseorang yang menjalani hidup sesuai Al Qur’an dan Sunnah dalam hal
pakaian adalah bahwa penampilan luar sangat penting dalam membangun hubungan
dengan orang lain. Berdasarkan alasan ini, orang beriman akan memberikan
perhatian lebih pada apa yang akan dia kenakan ketika mengajak orang lain
menerima agama Al Qur’an. Dia akan sangat bersemangat memakai pakaian yang
bersih, bersahaja, dan cocok dengannya. Ini menunjukkan pengabdiannya kepada
perintah Allah dan penghormatannya kepada orang lain.
Hanya mereka yang hidup sesuai Al Qur’an saja
yang sangat memperhatikan kondisi psikologis seseorang. Dia juga berhati-hati
agar dapat seberhasil mungkin dalam menyampaikan jalan keselamatan yang abadi.
Dia pun sangat teliti mengenai apa yang sedang dikenakannya.
Sebagai kesimpulan, orang beriman yang
menjadikan Nabi Muhammad, SAW sebagai teladan, selalu berada dalam keadaan
bersih, rapi, dan berpakaian menarik. Dia sangat menikmati hal ini karena
mengharapkan meraih ridha Allah.
Harunyahya.com
Penutup
Pakaian memiliki
beragam makna eksplisit dan implisit. Pakaian adalah wujud imitasi dari tubuh
sosial seseorang, sehingga batasan kenyamanan setiap personal menjadi berbeda-beda.
Sehelai pakaian mampu menggambarkan suatu struktur kehidupan sosial, ideologi,
sejarah, golongan, komunitas, dan juga identitas. Ideologi agama pada pakaian,
mengenai permasalahan moral dan etika, merupakan aturan atau hukum mengenai
bagaimana berpakaian sesuai dengan kondisi ruang, tempat, dan waktu, yang
perlu dipahami dan dilaksanakan. Seharusnya, kebebasan dalam berkreasi pakaian,
tidak melupakan hubungan pakaian dengan lingkungan sosial disekitarnya. Karena
pakaian sebagai kebutuhan pokok, masuk pada wilayah publik, sehingga pertimbangan
kelayakan sosial masih diperlukan. Pada akhirnya, pakaian tetaplah bagian benda
mati, konstruksi sosial didalamnya, yang menjadikan pakaian sebagai produk seni
yang bermakna ganda.
Daftar Pustaka
Effendy, Onong.U. 2003. Ilmu,
Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti
Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi
Komunikasi. Bandung, Rosda
Syam, Nina.W. 2011. Psikologi
Komunikasi: Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung, Simbiosa Rekatama Media
Tubbs, Stewart & Sylvia.
2008. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung, Rosda
Sumber lain
http://harunyahya.com
http://wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar